Warisan Apa Yang Kita Tinggalkan?
Seruput Kopi Cantik
Yenny Indra
Warisan Apa Yang Kita Tinggalkan?
Ramai beredar unggahan,
*Kesalahan bapak bukan merupakan tanggung jawab anaknya. Stop bully anaknya. Saya bersama Anda Trisha Eungelica!!
Miris membacanya. Tentunya berat sekali beban Trisha menanggung bully dan pandangan sinis masyarakat di sekitarnya karena perbuatan ayahnya yang ramai diperbincangkan orang.
Kuliah di Fakultas Kedokteran Trisakti, meski ayahnya kaya raya, ternyata Trisha mau menjadi guru les matematika.
Fakta sesungguhnya saya tidak tahu. Saya hanya membaca di sosmed. Belakangan berita simpang siur banyak beredar.
Pepatah Jawa yang terkenal adalah “Anak polah, bapak kepradah”
Artinya, anak bertingkah, bapak atau orang tua yang bertanggung jawab. Berdasarkan peribahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa begitu besarnya tanggung jawab orang tua kepada anaknya, oleh sebab itu sebagai anak tentu harus berbakti kepada orang tua.
Nach yang terjadi sekarang, justru kebalikannya. Bapak yang bikin ulah, anak ikut menanggung akibatnya.
Apa ya pepatahnya?
Saya Google keluarlah : Bapak molah, anak kepradah.
“Ma, kasi barang ke temenku ya? Yang pegang Toko “XYZ” itu sekarang temenku koq… “, ujar anak saya.
“Dulu mamanya klo bayar seenaknya jadi kita gak masuk lagi ke tokonya.”
“Ya, aku ngerti. Temenku cerita… Beratnya dia meneruskan toko mamanya. Mamanya gak ngerti bisnis. Setelah papanya meninggal, mulai dipegang mamanya, nyaris ga ada yang mau kasi barang. Tapi temenku janji Ma… Dia mau bayar tepat waktu. Coba dikasi barang gak usah banyak-banyak. Kita lihat pembayarannya. Klo kita gak bantu, temenku gak bisa muter…
Bantulah.”
“Ok. Kita lihat ya…”
Anak ini baik. Mengelola tokonya dengan baik. Bayar mundur-mundur sedikit tapi masih dalam batas wajar.
Akhirnya, tokonya bisa berjalan lancar lagi.
Teman saya dan seluruh keluarganya kaget bukan main. Sekitar 6 bulan setelah papanya meninggal, ada seorang perempuan yang mengaku istri papanya, menuntut warisan.
Gubraaaaakkkkk….
Gegerlah seluruh keluarga. Karena selama ini, setahu mereka, papanya tidak pernah menikah lagi. Mamanya sudah meninggal terlebih dahulu jauh sebelum papanya meninggal.
Perempuan itu menunjukkan bukti nikah siri.
Kebenarannya, abu-abu. Bisa ya, tetapi bisa juga tidak.
Yang jelas, gara-gara kasus ini, teman saya dan keluarganya, mengeluarkan banyak uang untuk berperkara di pengadilan.
Sudah menjadi rahasia umum, ada pengacara yang 2 muka. Jadilah mereka harus ganti pengacara baru lagi. Intinya, keluar duit lagi.
Tidak hanya duit, teror, pikiran dan energi yang terkuras tidak sedikit.
Pelajarannya, hati-hati bertindak dan bergaul. Jangan melakukan hal-hal yang menyerempet dosa, resikonya terlalu mahal. Jangan sampai ketika kita meninggal, bukannya mewariskan hal-hal yang baik dan berguna, justru bikin repot anak cucu yang masih hidup.
Nach repot juga, saat seseorang sudah sepuh, kadang nalarnya sudah tidak seperti dulu. Dalam keadaan sakit, asal ada yang perhatian, disuruh apa saja, dia nurut.
Seorang kerabat kaya, sepuh, hidup sendirian… Lalu ada kemenakan yang seolah perhatian. Ketahuan di belakang hari, sambil bertandang, perhiasan kerabat sepuh ini diambil.
Hendaknya keluarga juga waspada.
“Tahukah kita bahwa seseorang tidak mati ketika namanya masih dibicarakan?”, ujar Terry Pratchett.
Nach masalahnya, yang dibicarakan tentang apa?
Jika yang tetap dikenang, bagaimana kita membuat kehidupan orang-orang yang mengenal kita menjadi lebih baik, tentunya itu akan mempermudah atau meluruskan kehidupan keturunan kita. Mereka bersyukur, punya nenek moyang seperti kita.
Tetapi jika yang diceritakan justru bagaimana kehidupan kita membuat hidup mereka jadi terhambat, mesti buang uang karena apa yang kita lakukan, tentunya tidak menjadi berkat bukan?
Pilih mana?
Ketika awal akan membuka cabang di sebuah kota, kami butuh menyewa gudang.
Nego harga, sambil ngobrol sana sini.
Ternyata sang pemilik kenal dengan papa saya.
Papanya teman papa saya.
Akhirnya harga deal dan kami boleh menempati gudangnya terlebih dahulu, meski pun kami belum ke notaris.
Jadilah kami sudah pindahan dan menempati selama 2 minggu, baru ke notaris dan bayar lunas. Tanpa DP pula.
Di saat lainnya, kami beli truk second hand. Sama juga, dari pembicaraan rupanya si pemilik kenal papa saya, yang dulunya seorang kepala sekolah.
Setelah membeli truk tsb. Si pemilik lama bilang,
“Sudah gak usah dibalik nama. Daripada buang-buang uang. Nanti kalau perpanjangan, saya pinjami KTP.”
Jaman dulu masih bisa. Kalau sekarang sudah gak bisa pinjam nama begitu.
Pelajarannya, nama baik papa, membuat jalan kami jauh lebih mudah dan hemat.
“Usahakan saat meninggal bisa kasi warisan ke anak cucu. Jangan membebani mereka, jangan tinggalkan hutang,” pesan mama.
Dan itu yang terjadi. Papa Mama meninggalkan aset dan terutama nama baik yang berharga bagi kami semua. Dan tidak pernah merepotkan.
Kami bangga menjadi anak, menantu serta cucu mereka.
Apa gunanya belajar sejarah?
Agar kita bisa belajar dari pengalaman orang lain, tidak perlu mengalami jatuh bangun seperti mereka.
Ada contoh positif dan negatif.
Raja Salomo mengingatkan, tidak ada yang baru dibawah matahari. Sesungguhnya segala sesuatu itu berulang, tergantung kita sendiri, bersediakah belajar?
Belajar dari pengalaman sendiri, jauh lebih mahal dan menyakitkan.
Ada beberapa pengalaman saya juga, yang kurang peka, meski sesungguhnya sudah diperingatkan, tidak percaya. Akibatnya sungguh berat…. Kapok!
Pilihan ada di tangan kita sendiri!
Carve your name on hearts, not tombstones. A legacy is etched into the minds of others and the stories they share about you. — Shannon Adler
Ukir namamu di hati, bukan di batu nisan. Sebuah warisan terukir di benak orang lain dan cerita yang mereka bagikan tentang Anda. — Shannon Adler
YennyIndra
TANGKI AIR & PIPA PVC
MPOIN PLUS & PIPAKU
PRODUK TERBAIK
PEDULI KESEHATAN