Toxic Shame.
Gospel Truth’s Cakes
Yenny Indra
Toxic Shame.
Ketika anak-anak masih kecil, kerap mereka pulang sekolah dengan bangga menceritakan pencapaiannya,
“Ma, aku hebat lho…. Tadi aku bla… bla… bla… Dan Bu guru memujiku.”
Lucu ya…. Dan sebagai orangtua, kita merasa bangga.
Tetapi seiring bertambahnya usia, kita sadar, memuji diri sendiri itu tidak wajar. Tabu.
Kadang ada yang meremehkan dsb. Ternyata pencapaian kita gak sepenting itu.
Meski pun sesungguhnya kita butuh pengakuan itu. Apalagi orang-orang yang bahasa kasihnya “Kata – Kata Penghargaan”, menurut Gary Chapman, dia merasa dikasihi ketika dipuji, diakui melalui perkataan verbal.
Kejujuran menjadi barang langka, di mana kita tidak bisa mengungkapkan apa yang kita rasakan apa adanya.
Bisa dibenci orang, kalau tidak pintar-pintar membawa diri. Tahu waktu, kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan sesuatu.
Suatu ketika, saya keceplosan tidak sengaja, betul-betul karena kelelahan, saya berkomentar ‘negatif’ mengungkapkan apa yang sejujurnya saya rasakan. Tanpa ada maksud apa pun…. Beneran…
Ketika teman saya menjawab sedemikian positifnya….
Tiba-tiba saya sadar, malu…..
Duh saya sudah sekolah sekian lama koq ternyata tetap punya pikiran negatif, dan tidak sebaik teman saya.
Perasaan malu, bersalah, menyalahkan diri sendiri bisa sedemikian mendera, sampai termimpi-mimpi saat tidur.
Bersamaan beberapa minggu lagi saya mendapatkan kesempatan bersaksi.
Saya merasa tidak layak….
“Lhah wong masih punya pikiran negatif koq mau bersaksi… Hatimu gak bersih, gak layak…”
Tuduhan-tuduhan itu meneror siang malam…
Tekanan darah tiba-tiba naik, dan saya sakit.
Lalu saya mengundurkan diri. Saya butuh waktu membereskan apa yang ada di dalam hati.
Padahal saya sekolah, tiap hari fokus firman….
Tiap hari post Seruput Kopi Cantik….
Bayangkan… Koq ga jadi panutan.
Ke depan saya harus lebih hati-hati, berpikir tulus, murni, baik, selalu memandang dari sisi positif dsb. dsb….
Demikian saya berjanji dalam hati, dengan perasaan tertuduh.
Ada perasaan takut mengecewakan orang lain, tidak bisa memenuhi harapan orang lain, tidak menjadi Terang & Garam dsb. Padahal makin berusaha dengan kekuatan sendiri, makin mustahil.
Sudah berdoa, minta ampun pada Tuhan dan paham, semua rasa malu, kesalahan dan dosa sudah ditanggung Yesus di Kayu Salib, tapi koq ya… Perasaan malu gak hilang-hilang juga.
Apakah hanya saya yang mengalaminya?
Gak tahulah.
Secara tidak sengaja Joyce Meyer muncul di Instagram saya.
Joyce bercerita, bahwa apa yang saya alami, itu disebut, Toxic Shame.
Tidak sekedar malu pada apa yang sudah kita lakukan atau katakan, bisa juga malu karena apa yang sudah dilakukan orang lain terhadap kita, tetapi akhirnya kita menjadi malu terhadap diri kita sendiri!
Inilah yang disebut Toxic Shame, perasaan malu yang meracuni.
Ketika kita malu terhadap diri sendiri, itu akan meracuni setiap aspek kehidupan kita.
Joyce Meyer mengalami sexual abuse dari kecil. Itu bukan salahnya, dia masih kecil tidak berdaya. Namun dia menjadi malu terhadap dirinya, merasa tidak layak, marah, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Padahal dia hanyalah korban. Menyalahkan diri sendiri.
Apa beda rasa malu yang sehat dengan yang meracuni?
The Gottman Institute mengungkapkan:
Healthy shame guides toward self-correction, making amends, and growth.
Toxic shame, on the other hand, can be very harmful psychologically. It’s deeply absorbed in the nervous system (meaning, you feel it in your gut). Toxic shame is self-punishing and lingers on.
Rasa malu yang sehat membimbing menuju koreksi diri, perbaikan, dan pertumbuhan.
Rasa malu yang meracuni, di sisi lain, bisa sangat berbahaya secara psikologis. Perasaan ini diserap dalam sistem saraf (artinya, Anda merasakannya di usus Anda). Rasa malu meracuni, berakibat menghukum diri sendiri dan terus berlanjut, dan berlanjut…
“Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, (yaitu, dalam dagingku), di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan berbuat apa yang baik…….. Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku.” Demikian ungkapan Rasul Paulus.
Kita semua bisa merasakan dilema ini. Frustrasi karena mengetahui hal yang benar untuk dilakukan, tetapi karena kelemahan daging serta kelemahan tekad mental kita sendiri, mendapati diri kita melakukan hal yang sebenarnya tidak ingin kita lakukan.
Tuhan ingin kita mengasihi diri sendiri. Tuhan menerima dan SUDAH mengampuni segala dosa kita, baik dosa masa lalu, sekarang, mau pun dosa di masa yang akan datang.
Semua sudah lunas dibayar!
Saya paham prinsip itu, sudah lulus ujian, nempel di kepala, tetapi ternyata belum menghidupinya!
Salah ucapan, tidak sekedar malu terhadap perkataan yang salah, saya jadi malu terhadap diri sendiri!
Setiap menulis, saya mengaitkannya dengan Tuhan karena bagi saya, Tuhan itu pusat kehidupan saya.
Dengan menuliskannya, saya mengajari diri saya sendiri, agar prinsip ini terukir dalam hati.
Kadang ada pembaca yang mengharapkan penulisnya seperti malaikat.
Tentu tidak bisa!
Saat hubungan dengan Tuhan mulus, saya merasa jauh lebih sabar. Karena sabar itu buah roh.
Tetapi ada kalanya, hubungan dengan Tuhan tidak sedekat biasanya, masalah datang bertubi-tubi, emosi muncul juga.
Tuhan itu Allah yang Mahabaik.
Munculnya Joyce Meyer menyadarkan saya akan Toxic Shame.
Tidak hanya itu, tanpa sengaja bertemu teman dalam sebuah pertemuan. Ketika sedang ngobrol sana sini, teman ini menceritakan hal yang sama seperti yang saya rasakan. Dia berkomentar sama dengan komentar saya yang ‘negatif’.
Wuiiihhh…. Leganya!
Ternyata bukan saya yang jahat. Ada orang lain berpendapat demikian juga. Itu normal.
Hingga kini saya berusaha jujur, klo baik, saya puji. Di berbagai artikel Seruput Kopi Cantik saya kerap bahkan senang mengapresiasi teman-teman. Namun jika saya tidak merasa mendapat sesuatu, saya diam, tidak mau memuji sekedar basa-basi. Gak nyaman di hati.
Meski demikian, iblis tidak langsung berhenti. Beberapa bulan kemudian, ketika saya diberi kesempatan bersaksi, teror kembali datang.
Saya berdoa dan bilang sama Tuhan:
It’s all about You, my Lord… not me.
Saya ingin menceritakan kebaikan-Mu, untuk kemuliaan-Mu, biarlah saya menjadi wadah, silakan hati-Mu, perkataan-Mu yang Engkau alirkan melaluiku.
Saya tidak mau dikalahkan lagi oleh si musuh.
Semua berjalan lancar setelah saya tidak mengandalkan diri sendiri. Tetapi bergantung sepenuhnya kepada Tuhan.
Joyce Meyer menambahkan,
“Meski pun hari ini adalah hari buruk Anda, sepanjang hari Anda bersikap tidak baik… Marah, menggerutu, dll tetapi saya beritahu: Tuhan tetap mengasihi Anda. Karena Tuhan melihat hatimu. Anda berada di sini karena Anda mencari-Nya dan mengasihi-Nya bukan? Allah perhitungkan hal itu.”
Memahami kita dibenarkan BUKAN karena kita baik atau melakukan hal yang benar, tetapi karena beriman kepada Yesus dan karya Salib yang Sudah Selesai, sungguh merupakan fondasi yang teguh.
Kita tidak diombang-ambingkan oleh perbuatan kita, tetapi saya benar karena saya ada di dalam Kristus.
Ketika kita belajar kebenaran firman Tuhan dan hidup dari Roh Allah, dosa dikalahkan.
Dan hasilnya? Kita tidak mengutuki diri sendiri lagi.
Tidak ada penghukuman ketika kita berjalan dalam Roh.
Yuk hidup dalam roh….
So now there is no condemnation for those who belong to Christ Jesus. – Romans 8:1
“Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Roma 8:1 (TB)
YennyIndra
TANGKI AIR ANTI VIRUS & PIPA PVC
MPOIN PLUS & PIPAKU
PRODUK TERBAIK
PEDULI KESEHATAN
Klik:
https://mpoin.com/