“Sebuah kesaksian tentang Anugerah: Arthur Meintjes.”
“Kesaksian tentang Anugerah: Arthur Meintjes.”
Instruktur Charis, Arthur Meintjes tidak hanya mengabarkan Firman tentang anugerah Tuhan — dia menghidupinya.
Bertahun-tahun yang lalu, ketika masih tinggal di Afrika Selatan bersama istrinya, Cathy, Arthur bertemu Tuhan secara pribadi dengan cara yang menakjubkan.
Setelah mengikuti pelatihan di Christ for the Nations di Dallas, Texas, Arthur dan Cathy kembali ke Afrika Selatan, memulai sebuah gereja. Selama sembilan tahun penggembalaan mereka, gereja tumbuh dan berkembang, tetapi Arthur secara pribadi, tidak.
“Saya tidak memahami anugerah Tuhan. Meski pun memberitakan Firman, tetapi saya terjebak dalam lingkaran setan legalisme. ”
Berusaha menyenangkan Allah melalui hidup kudus, membaca Alkitab, berdoa, dan semua “yang harus dikerjakan” dalam hidup kekristenan lainnya, Arthur menjadi putus asa.
“Bukan karena saya berkecil hati dengan pelayanan — kami melakukan semua hal yang benar dan mengalami kesuksesan — tetapi saya merasa lelah dengan kehidupan Kristen.
Saya tidak bisa melakukan semua yang saya pikir dituntut harus saya lakukan. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan dalam diri saya sendiri: Bagaimana saya bisa membayar hutang saya bagi pengorbanan Yesus?
Sudahkah saya melakukan yang cukup baik untuk Tuhan?
Pada satu titik, saya diingatkan pada kewajiban membaca dua puluh lima pasal Alkitab setiap hari. Dan apa yang menurut kita wajib dilakukan, pada akhirnya justru membuat kita membencinya.”
Arthur berperang melawan perasaan tanpa harapan dan putus asa itu, hingga hampir membunuhnya.
“Meskipun Tuhan tidak pernah menuntut hal-hal itu dari saya, namun hati nurani saya melakukannya. Saya menjadi begitu putus asa dan tertekan sehingga saya pergi ke kantor, mengambil pistol saya yang terisi peluru, dan mengokangnya, siap untuk mengakhiri hidup. Pikiran bunuh diri tidak mengganggu saya; Saya sudah merasa seperti hidup di neraka karena perasaan bahwa saya tidak cukup baik seperti yang diinginkan Tuhan. Saya tidak bisa menyenangkan Tuhan.”
Dengan bersikukuh pada keputusannya, Arthur memutuskan sekali lagi melakukan “percakapan” terakhir dengan Tuhan.
“Aku sangat marah. Aku berteriak pada langit-langit. Mengutuk Tuhan. Berteriak lantang dan memuntahkan rasa kesal. Melemparkan Alkitab saya ke lantai. Menginjaknya. Mengambilnya lagi, lalu melemparkannya ke seberang ruangan. Saya sangat ingin Tuhan menanggapi kemarahan saya. Terbersit dalam pikiran, akan ada kilat menyambar dan menjatuhkan saya — setidaknya itu menunjukkan bahwa Tuhan mendengarkan saya.”
Ketika Arthur sampai pada akhir dirinya, – dalam keadaan benar-benar tak berdaya – dan emosinya mereda, Tuhan berbisik di dalam hatinya, Arthur, kamu perlu memasuki perhentian-Ku.
Sebagai pengkhotbah tentang Iman, Arthur tidak menghargai hikmat Allah. “Saya merasa direndahkan, terhina. Ingatan pada bagian dalam Kitab Ibrani yang mengatakan umat Allah tidak dapat masuk ke dalam perhentian-Nya karena ketidakpercayaan mereka (Ibrani 3:19), terus terbayang. Saya berpikir, Tuhan, bagaimana Engkau bisa mengatakan hal itu kepada saya? Saya pengkhotbah tentang Iman! Saya tahu semua isi Kitab Suci. Saya memiliki iman! ”
Tetapi Roh Tuhan menjelaskannya, “Ketidakpercayaan bukanlah ketidakmampuan untuk percaya; hal itu terjadi ketika apa yang Anda yakini adalah sesuatu yang Tidak (salah). ”
Arthur mengerti.
Sepanjang hidupnya, dia percaya kepada Tuhan, tapi malam itu, Arthur menyadari selama ini dia mempercayai hal-hal yang salah tentang Tuhan, sama seperti anak-anak Israel. Setelah Tuhan menyelamatkan orang-orang Israel dari tangan orang Mesir, kepercayaan mereka tersendat keraguan di padang gurun. Meski pun mereka melihat kuasa-Nya yang luar biasa diperlihatkan berulang kali, ketika tiba saatnya bagi orang Israel harus memasuki Tanah Perjanjian, yang benar-benar mereka percayai tentang Allah — Dia adalah seorang Tuan Pengerah yang memaksa mereka bekerja keras, selalu mencari alasan untuk menghukum mereka — sehingga terus menghalangi mereka memasuki tempat perhentian-Nya.
Kesalahpahaman Arthur tentang karakter Tuhan yang sesungguhnya, membuatnya tidak mengalami manfaat yang seharusnya diperolehnya dalam hubungannya dengan Tuhan.
“Pengalaman itu merupakan hal terbesar yang pernah saya alami. Akhirnya saya menyadari bahwa hubungannya dengan Tuhan – Kekristenan – bukanlah tentang seberapa banyak saya mengetahui tentang Tuhan; namun bagaimana saya mengalami Dia. Itulah yang akhirnya mengubah hidup saya. ”
Sekarang Arthur berkeliling dunia, memberitakan Injil kepada semua orang yang mau mendengarkan. Pesannya tidak menunjukkan apa yang salah dengan kita, tetapi mengajarkan orang-orang untuk melihat diri mereka sendiri dalam terang karya salib yang sudah selesai. “Injil itu tentang KEBENARAN yang ada di dalammu!”
Arthur sering berkata. “Anugerah tidak memberi kita ijin untuk berbuat dosa; sebaliknya memberdayakan kita untuk hidup saleh.”
[Repost ; “A testimony of Grace: Arthur Meintjes”, – Arthur Meintjes, https://www.charisbiblecollege.org/blogs/charis-blog/2015/4/8/a-testimony-of-grace-arthur-meintjes, diterjemahkan oleh Yenny Indra].