ADOPSI
Seorang teman dari jauh menelpon ingin minta dicarikan informasi tempat dimana dia bisa mengadopsi anak. Teman ini telah menikah sepuluh tahun dan dari pemeriksaan medis memang sulit bagi mereka untuk memiliki anak sendiri. Seperti biasa, untuk mengadopsi anak, orang lebih suka mengambil anak dari tempat yang jauh agar tidak mudah diketahui asal-usulnya. Kemudian mulailah terjadi diskusi. Rupanya mama teman saya ingin mengadopsi anak yang sudah berusia dua tahunan, agar tidak repot begitu alasannya. Sementara teman saya sesungguhnya tidak suka anak kecil. Lalu, mengapa ingin mengadopsi anak? “Ya, karena semua orang menikah diharapkan untuk punya anak. Saya bosan dengan pertanyaan para tetangga dan kenalan. Apalagi saya hidup di kota kecil,” jawab teman tadi. Sungguh sebuah motivasi yang tidak sesuai untuk memiliki anak. Kalau memang tidak mau repot ya jangan punya anak. Memiliki anak berarti siap berkorban.
.
.
Ada lagi teman lain yang sudah mengadopsi anak yang nampak lucu, putih dan manis saat masih bayi. Semakin besar anak itu, semakin kecewa mereka karena anak itu tidak setampan harapan mereka. Yang lebih mengecewakan lagi, anak itu makin besar makin gelap warna kulitnya sementara orangtuanya berkulit kuning langsat sehingga semua orang tahu anak ini bukan anak kandung mereka. Ketika anak itu sudah berumur dua tahun lebih, anak itu dikembalikan ke tempat mereka mengadopsi anak itu. Ini kisah nyata. Bayangkan!
.
Banyak orang yang hidup berdasarkan apa yang diharapkan orang lain tanpa sungguh-sungguh mempertimbangkan apa sesungguhnya yang diinginkannya. Banyak pasangan yang ingin punya anak hanya karena merasa orang menikah ya harus punya anak. Wajarnya begitu. Keinginan memiliki anak didasari dengan motivasi yang keliru. Anak bukanlah sebuah sebuah keharusan dalam rumah tangga. Banyak pasangan yang hidup bahagia tanpa anak, terutama orang-orang barat. Dalam kebudayaan barat sudah biasa orang mengadopsi anak dan mereka memang siap untuk memelihara anak adopsi seperti anak mereka sendiri. John Maxwell, penulis dan pendeta terkenal dunia, memiliki dua orang anak adopsi. John dan istrinya memang sudah merencanakan memiliki anak adopsi sejak mereka belum menikah.
.
Sementara di Indonesia, orang mengadopsi anak dengan berbagai macam alasan. Ada orang-orang yang ingin punya anak, agar nanti saat tua ada yang memelihara. Dengan tujuan seperti ini, orang cenderung menjadikan anak sebagai investasi yang harus membalas budinya kelak. Tidak lagi dia memikirkan apa yang terbaik bagi masa depan anaknya, segala sesuatu dipertimbangkan dari sisi apa yang menguntungkan baginya. Anak dituntut untuk jadi anak ‘berbakti’, bahkan ada orangtua kuno yang berkata, ”Pasanganmu itu orang lain. Keluargamu ya..orangtua dan adik-kakakmu yang sekandung.” Karena itu dalam keluarga kuno semacam ini, istri tidak punya hak apa-apa selain berkewajiban punya anak, melayani keluarga dan digaji seperti karyawan.
.
Ini pandangan yang bertentangan dengan kebenaran Alkitab. Setiap orang yang menikah seharusnya meninggalkan orangtuanya untuk bersatu dengan pasangannya. Suami istri diciptakan untuk menjadi satu daging dan istri berperan sebagai penolong yang sepadan. Kita hendaknya mengijinkan anak kita untuk membangun rumahtangganya sendiri sesuai style mereka berdua, yang mungkin berbeda dengan style dan keinginan kita. Kita mendidik mereka menjadi pribadi yang mandiri, bukan untuk memelihara atau menjadikan mereka sesuai keinginan kita. Kita harus menyiapkan diri untuk hidup mandiri dengan pasangan kita, saat anak-anak kita telah menikah semua.
.
Anak adalah anugerah Tuhan dalam kehidupan kita. Anak adalah titipan dari Tuhan-bukan milik kita- untuk dididik, dibimbing dan dikasihi agar dia menjadi pribadi yang mempermuliakan nama Tuhan dan bisa mengembangkan talenta sesuai dengan rencana Tuhan bagi hidupnya. Kita seyogyanya berpikir apa yang terbaik bagi anak kita dan menjadikannya yang terbaik sesuai dengan kehendak Tuhan, bukan menurut kemauan kita. Tentu saja Alkitab mengajarkan anak untuk menghormati dan memelihara orangtuanya dengan kata lain menjadi anak yang berbakti. Namun orangtua membesarkan anak dengan sikap hati dan motivasi untuk memberikan yang terbaik dan mendidik serta membiayai anaknya agar dapat mengembangkan potensinya secara maksimal menjadi pribadi terbaik di dunia sesuai dengan rencana Tuhan. Ini berarti kita harus rela jika anak kita harus tinggal di kota atau negara lain, tidak bisa terus menerus menjagai kita, demi mengembangkan dirinya dengan maksimal.
.
Gary Chapman pernah berkata bahwa orangtua yang memutuskan untuk memiliki anak, baik itu anak kandung maupun anak adopsi, harus menyiapkan diri untuk menyingkirkan kepentingan pribadi selama 20 tahun ke depan. Memiliki anak berarti kita harus siap berkorban. Jangan hanya berpikir manisnya saja. Baik memiliki anak kandung maupun anak adopsi, tidak ada jaminan bahwa kita memiliki anak yang sehat. Jika ada cacat atau penyakit yang membutuhkan pengorbanan dan biaya yang besar, siapkah kita? Beranikah kita tetap mengasihi anak ini tanpa syarat? Jika itu anak kandung kita sendiri, kebanyakan orang pasrah. Bagaimana jika anak adopsi? Apakah kita menyesali memilih anak yang ini dan bukan yang satunya lagi? Dalam perkembangannya mungkin saja ada saat-saat anak akan memberontak ketika dia sedang mencari identitas diri, sesuatu yang menyakitkan dan perlu hikmat, agar kita bisa mengarahkan dia kembali ke jalan yang baik dan menjadi pribadi yang sukses. Mungkin juga kita sudah mengorbankan banyak hal dan uang ternyata anak kita gagal. Bagaimana reaksi kita? Saat anak sedang nakal-nakalnya, ada orang tua adopsi yang lalu bertanya-tanya, ini menurun sifat siapa? Mungkin saja ada saatnya anak adopsi ini tahu bahwa dia bukan anak kandung, kemudian dia mulai memberontak atau ingin mencari siapa orangtua kandungnya. Bagaimana cara menjawabnya dan menyelesaikan masalah ini?
.
.
Menarik sekali, dalam istirahat makan siang di suatu seminar keluarga ada sepasang suami istri yang berkonsultasi dengan pembicara seminar tersebut. Pasangan ini sudah punya dua anak kandung perempuan dan mereka mengambil satu anak adopsi laki-laki. Bagi pasangan ini anak laki-laki itu wajib, penerus marga. Rupanya anak ini setelah remaja tahu bahwa dia anak adopsi maka dia menjadi kecewa dan mulai memberontak. Dia merasa ditolak orangtua kandungnya tetapi dia melampiaskan kekecewaannya pada orangtua angkatnya. Pembicara ini menyarankan untuk membicarakan hal ini dengan sang putra dengan berkata, ”Papa mama melahirkan kakak-kakakmu tanpa bisa memilih. Tuhan yang memberikan mereka kepada kami. Mereka lahir perempuan atau laki-laki, Tuhan yang mengatur. Bagaimana rupanya, warna kulitnya: semua Tuhan yang memilih. Meskipun kamu bukan anak yang lahir dari rahim mama, namun kamu anak istimewa yang kami pilih diantara sekian banyak anak yang lain. Kami memilihmu. Kamu istimewa. Kami mengasihimu sama dengan kakak-kakakmu dan kami mengasihimu dengan segala keberadaanmu dan kami siap mendukungmu hingga kamu menjadi pribadi terbaik di dunia sesuai dengan rancangan Tuhan bagi hidupmu. Bukan kebetulan kami memilihmu. Ini karena Tuhan tahu bahwa kamu perlu tumbuh di rahim mama yang lain namun kamu perlu dididik dan dibesarkan oleh cinta kami, di keluarga ini. Kamu anak yang sudah kami doakan bertahun-tahun dan Tuhan menunjukkan bahwa kamulah anak pilihan Tuhan untuk menjadi anggota keluarga kami. Seluruh keluarga mengasihimu tanpa syarat dan bangga kepadamu ”. Beberapa bulan setelah seminar itu, pasangan ini mengabarkan bahwa setelah pembicaraan itu, anak itupun tidak memberontak lagi dan bisa menerima apa yang terjadi. Hubungan mereka dipulihkan.
.
Di negara-negara maju, sebelum mengadopsi seorang bayi biasanya calon orangtua menyelidiki latar belakang dan sejarah nenek moyang anak itu baik sejarah kesehatan, riwayat hidup keluarganya dengan teliti. Mereka mempersiapkan diri sungguh-sungguh untuk menerima segala kemungkinan dan resiko yang harus dihadapi. Sebaliknya orangtua kandung atau mungkin hanya ibu anak itu, juga memiliki syarat tertentu dalam memilih calon orangtua angkat bagi anaknya. Ibu kandung Steve Jobs, pendiri Apple, memberikan syarat bagi orangtua yang akan mengadopsi anaknya harus berpendidikan sarjana dan harus menyekolahkan anaknya hingga ke universitas. Meskipun akhirnya orangtua angkat Steve Jobs bukan sarjana namun mereka berjanji untuk menyekolahkan Steve Jobs hingga ke universitas. Dan mereka menepati janjinya hingga mereka menghabiskan seluruh tabungannya untuk mengirim Jobs ke universitas. Kisah ini memberikan gambaran apa yang harus dilakukan sebelum memutuskan anak mana yang akan diadopsi sehingga contoh peristiwa mengembalikan anak yang sudah diadopsi ke yayasan tidak terjadi.
.
Mempersiapkan diri secara jasmani, mental dan spiritual sebelum mengambil keputusan besar seperti mengadopsi anak adalah tindakan yang bijaksana. Dari pengalaman, ada anak-anak adopsi yang sangat mencintai orangtua angkatnya dan sangat berbakti. Namun ada juga yang justru memberontak dan menjadi beban. Anak kandungpun sama. Ada yang jadi anak baik dan berbakti namun tidak sedikit pula yang hingga sudah berkeluarga tetap membebani orangtuanya. Masalahnya sesungguhnya tergantung bagaimana cara kita mendidiknya dan nilai-nilai apa yang kita tanam dalam kehidupan mereka. Hendaknya calon orangtua berdoa sungguh-sungguh mencari kehendak Tuhan dan menyelami ke dalam diri sendiri dan pasangannya benarkah adopsi memang sesuatu yang disepakati untuk dilakukan dan memang sesuai dengan keinginan hati mereka berdua. Pastikan keputusan itu sesuai hati nurani, bukan sekedar memenuhi tuntutan orang-orang di sekitar mereka termasuk orangtua, mertua dan lain-lain. Jujur pada diri sendiri dan orang lain itu penting. Jika sudah sungguh-sungguh yakin untuk adopsi, minta bimbingan Tuhan untuk memilihkan anak yang memang Tuhan percayakan dalam hidup mereka. Jika sudah mengambil keputusan, terima segala resiko dengan lapang dada dan kasihi anak adopsi seperti anak kandung . Jangan pernah menoleh ke belakang lagi. Hidup adalah pilihan! Bertanggungjawablah terhadap pilihan anda sendiri. Selamat memilih!
.
Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.
Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu.
Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.
Mazmur 127: 4-5
.
OLEH: YENNY INDRA
.
Photo: