Gagal = Malapetaka?
Seruput Kopi Cantik
Yenny Indra
Gagal =malapetaka?
Sahabat saya yang menjabat sebagai Kepala Sekolah sebuah SMP terkenal bercerita.
Rina, salah seorang murid dari sekolahnya sejak masih playgroup.
Anak itu pintar, rajin, cantik dan penurut.
Nilainya selalu bagus maka Rina tidak pernah keluar dari Ranking 3.
Bahkan sebagian besar dia memperoleh Ranking 1 hingga jenjang SMU.
Kemudian Rina melanjutkan studinya ke Singapura dan S2 di Amerika. Lulus dengan predikat Suma Cumlaude.
Mulailah Rina masuk ke dunia kerja. Ternyata prestasinya tidak begitu bagus. Kalah dengan teman sekolahnya dulu, yang rankingnya jauh dibawahnya. Rina sudah berusaha, tetapi hasilnya tetap dibawah harapannya. Akhirnya Rina memilih resign.
Orangtuanya memberi modal untuk berbisnis. Dengan penuh semangat Rina mempersiapkan tokonya.
Setahun berlalu, makin lama bisnisnya kian surut, akhirnya bangkrut dengan menanggung banyak hutang.
Rina merasa gagal. Dia mengurung diri, tidak mau mengerjakan apa pun.
Takut gagal!
“Anak-anak yang sejak kecil hidupnya mulus dan terlalu sempurna, justru berbahaya. Mereka terbiasa dengan predikat outstanding, tidak bisa menerima ketika menjadi biasa-biasa saja. Gagal dan bangkit lagi adalah bagian pelajaran hidup yang nyata. Di sekolah, ujian sudah jelas materinya. Tetapi dalam hidup, tidak. Perlu kreativitas dan keuletan untuk sukses. Kemampuan bergaul, mengatasi masalah dan bersikap, itu faktor penting pula. Itulah sebabnya, kadang yang sukses dalam hidup justru siswa kelas menengah, yang nakal dan berani. Semua orang yang sukses, mengalami jatuh bangun berulang kali. Sayangnya, kebanyakan orang hanya terpukau oleh pencapaiannya tetapi enggan belajar dari jatuh bangunnya,” ujar sahabat saya.
Belajar dari kisah di atas, tentunya sebagai orangtua kita jangan berharap anak-anak selalu sukses.
Penerimaan dan pendampingan saat mereka gagal, sangat penting.
Agar anak-anak paham, orangtuanya menerima baik saat mereka sukses mau pun saat mereka gagal.
Menjadi orangtua sungguh tidak mudah.
Meski orangtua merasa mengasihi tanpa syarat, kadang anak menilainya tidak demikian. Tak jarang pula, anak itu sendiri yang menetapkan target yang ‘dianggapnya’ diharapkan oleh orangtuanya. Saat gagal tercapai, dia depresi.
Menjadi orangtua perlu terus belajar mengkomunikasikan kasih serta penerimaan & beradaptasi sepanjang waktu.
Love is made up of three unconditional properties in equal measure: acceptance, understanding, and appreciation. Remove any one of the three and the triangle falls apart.- Vera Nazarian
Cinta terdiri dari tiga sifat tanpa syarat dalam ukuran yang sama: penerimaan, pengertian, dan penghargaan. Hapus salah satu dari tiga dan segitiga itu akan hancur berantakan.- Vera Nazarian.
YennyIndra
TANGKI AIR & PIPA PVC
MPOIN PLUS
PRODUK TERBAIK
PEDULI KESEHATAN