Articles

The Power To Delay….

Seruput Kopi Cantik
Yenny Indra

The Power To Delay…. (2021)

Anita datang dengan mata sembab. Dengan terbata-bata, dia mencoba menceritakan apa yang terjadi. Namun emosi tinggi masih menguasainya, membuat setiap kata yang dikeluarkannya bercampur tangis yang tertahan. Anita terluka. Batinnya perih. Hatinya memberontak. Apa yang sebenarnya terjadi? Saya biarkan Anita beberapa lama. Saya memintanya diam. Akhirnya, setelah Anita bisa mengatur emosinya, mulailah dia bercerita.

Mula-mula suaminya bercerita tentang masalah bisnis yang dihadapi oleh perusahaan mereka. Suaminya salah mengambil keputusan. Anita merasa jengkel karena sebelumnya dia sudah menasehati suaminya agar mengambil pilihan yang lain. Suaminya tetap bergeming. Sekarang kerugiannya harus ditanggung mereka berdua.

Sebetulnya permasalahan yang dihadapi tidaklah terlalu besar. Demikian pula jumlah kerugiannya. Yang membuat masalah lebih besar, Anita mengungkit kesalahan-kesalahan lama dan suaminya pun membalas. Mereka saling mengeluarkan kata-kata yang kasar dan menyakitkan. Akibatnya permasalahan lebih besar dan lebih menyakitkan, bukan lagi karena masalah kerugian bisnis melainkan karena mereka merasa dilecehkan, dihina dan gengsi, karena kata-kata kasar yang dikeluarkan pasangannya. Familiar dengan kisah seperti ini?

Kisah seperti ini akan makin heboh, saat orangtua dan keluarga ikut campur. Urusan gengsi, harga diri, penghinaan dan berbuntut pencemaran nama baik bisa berakhir di pengadilan. Entah itu perceraian atau tuntutan hukum karena harga diri.

The Power to Delay, kekuatan untuk menunda, sangatlah berguna dalam kasus ini. Menunda memang kebiasaan yang buruk. Menunda pekerjaan, menunda kewajiban, menunda membayar hutang sementara uang sudah ada di tangan, memang kebiasaan yang buruk. Tetapi menunda bicara, menunda bereaksi, saat situasi tidak kondusif sangatlah berguna. Teknik yang sangat sederhana.

Prinsipnya: Jangan Pernah Bicara Saat Hati Sedang Panas!

Perlu kedewasaan dan pengendalian diri untuk mempraktekkan prinsip ini. Secara jujur, saya perlu bertahun-tahun belajar sebelum berhasil mempraktekannya. Dan tidak selalu sukses juga…

Hidup berkeluarga tidak lepas dari perbedaan pendapat, entah dengan pasangan, anak, karyawan mau pun pembantu. Ingat, kehilangan pembantu juga bikin repot. Jadi saat ada perbedaan pendapat atau ada yang berbuat salah lalu emosi naik dan ingin marah, lebih baik ambil keputusan untuk diam.

Kadang-kadang saya memilih membicarakannya beberapa hari kemudian ketika hati sudah dingin. Saya juga tidak membicarakannya dengan orang lain. Seringkali komentar orang yang kita curhati justru makin membuat panas hati dan gengsi.

Saat hati sudah tenang, saya mencoba memikirkan kembali dan mencari fakta sesungguhnya. Seringkali kejadiannya ternyata tidak seperti persepsi kita semula. Penting diingat, kebanyakan orang saat menceritakan sesuatu, informasinya tidak utuh.

Memang benar ada karyawan kita yang pulang tanpa ijin saat kita sedang di luar kota misalnya. Sesuatu yang tidak diceritakan, karyawan itu pulang mendadak karena anaknya mengalami kecelakaan. Apalagi jika yang memberi informasi memang bersaing dengan karyawan yang pulang tadi.

Ketika kita hanya menelan informasi bahwa karyawan ini pulang tanpa ijin, maka pikiran kita berkata bahwa ini tidak disiplin. Tidak tahu aturan. Namun setelah kita tahu bahwa anaknya memang kecelakaan maka reaksi kita berbeda.

Dengan menggali informasi yang lebih detil maka kita bisa memahami situasinya dengan lebih baik. Pada akhirnya bisa mengambil keputusan yang lebih bijak. Kita bisa menegur tanpa emosi negatif dan memilih kata-kata yang lebih santun sehingga hasil akhir permasalahan lebih manis. Maksud kita tercapai, yang ditegur pun bersedia berubah dengan senang hati.

Demikian pula permasalahan dengan pasangan atau anak. Lebih baik diam dulu. Ketika suasana sudah tenang dan enak, coba tanyakan dulu permasalahannya. Belajar mendengarkan dengan tujuan untuk memahami. Bukan untuk menghakimi. Belajar untuk mengerti dari sudut pandangnya sebelum kita mengungkapkan pemikiran atau perasaan kita.

Prinsip yang tidak kalah pentingnya, jangan pernah mengungkit persoalan atau kesalahan yang lama.
Itu akan membuat masalah yang dihadapi saat ini menjadi dobel porsi. Bahas hanya masalah yang terjadi saat ini. Tanpa dituding kesalahannya, orang yang salah sudah menanggung beban yang berat. Jangan ditambahi lagi.

Biasakan pula untuk menanamkan pada diri sendiri, tidak peduli ini salah siapa, kita hadapi permasalahan sebagai satu keluarga. Masalahmu atau masalahku adalah masalah kita bersama. Kita tanggung bersama. Saat berkat datang, kita nikmati bersama. Demikian pula saat masalah datang. Kita selesaikan bersama. Kita harus saling mendukung dan memotivasi agar masalah ini bisa diselesaikan dengan cara yang baik dan anggun.

Jika kita berhasil melakukannya, maka hubungan keluarga akan makin erat dan kasih yang mengikat makin kuat. Kita sadar, bahwa kita menjadi bagian satu dengan yang lain. Dalam keluarga ini ada penerimaan dan kasih tanpa syarat. Itu akan memberikan rasa aman dan kelegaan yang luar biasa.

Saya mengatakan kepada anak-anak bahwa baik dalam keadaan sukses mau pun gagal, sehat atau sakit, dalam keadaan baik atau buruk, papa dan mama menerima dan mengasihi kalian apa adanya.
Dan saya perlu membuktikannya!
Sungguh bukan sesuatu yang mudah namun harus diperjuangkan.

Selama tidak ada pihak ke tiga, biasa masih lebih mudah dilakukan. Tetapi saat ada pihak luar yang ikut campur, peperangan berkubu membutuhkan strategi yang berbeda.
Namun prinsip The Power To Delay tetap efektif, untuk melihat persoalan dengan jernih.

William Ury dari Harvard, menggunakan istilah: Go To The Balcony.
Sementara Samurai Jepang kuno mengajar muridnya melihat persoalan di depan mata, seolah-olah nun jauuuh di sana seperti di atas gunung. Strategi ini disebut Musashi, distanced view of close things.

Tuhan memberi manusia hikmat untuk dipelajari dan dipraktikkan. Orang yang tidak mau belajar, binasa karena kurang pengetahuan.

Siap belajar? Yuk….

The balcony is a metaphor for a mental and emotional place of perspective, calm, and self-control. If life is a stage and we are all actors on that stage, then the balcony is a place from which we can see the entire play unfolding with greater clarity. To observe our selves, it is valuable to go to the balcony at all times, and especially before, during, and after any problematic conversation or negotiation. – William Ury.

Balkon adalah metafora untuk tempat perspektif mental dan emosional, ketenangan, dan pengendalian diri. Jika hidup adalah sebuah panggung dan kita semua adalah aktor di panggung itu, maka balkon adalah tempat di mana kita dapat melihat seluruh permainan berlangsung dengan lebih jelas. Untuk mengamati diri kita sendiri, sangat berharga untuk pergi ke balkon setiap saat, dan terutama sebelum, selama, dan setelah percakapan atau negosiasi yang bermasalah. – William Ury

YennyIndra
TANGKI AIR ANTI VIRUS & PIPA PVC
MPOIN PLUS & PIPAKU
PRODUK TERBAIK
PEDULI KESEHATAN

Yenny Indra Visit Website
Traveller, Family Growth Inspirator, Seruput Kopi Cantik YennyIndra, Co Founder of PIPAKU & MPOIN FB: Pipaku Mpoin www.mpoin.com FB: Yenny Indra www.yennyindra.com Email: yennyindra09@gmail.com
Related Posts
Bali Timbungan dan Strategi Bagaimana Entrepreneur Sejati Menyiasati Pandemi…
Sudahkah Kita Hidup Seimbang?
From Nothing To Something