KAMBING HITAM
KAMBING HITAM Seorang teman menulis di wall facebooknya: “Bencana itu tak perlu ditakuti, apalagi ditakut-takuti sebagai hukuman atas dosa. Belajar dari Jepang: mengakrabi bencana.” Bukankah kita memang suka takut ketika menghadapi bencana? Setelah itu reaksi kebanyakan orang lalu mencari kambing hitam atau mengkait-kaitkan apa yang yang menyebabkan terjadinya bencana dengan sesuatu yang kita ‘pikir’ benar padahal belum tentu sesungguhnya demikian.
Ketika terjadi bencana Tsunami di Aceh dan gempa di Jogja, seorang hamba Tuhan berkotbah bahwa bencana ini merupakan hukuman Tuhan bagi saudara sepupu kita karena sudah menganiaya anak-anak Tuhan. Dia memberikan bukti-bukti yang mendukung pendapatnya. Kelihatannya semuanya memang masuk akal. Hingga suatu hari saya bertemu dengan seorang hamba Tuhan yang sudah pergi ke Aceh dan ikut membantu korban Tsunami disana. Ternyata banyak juga anak-anak Tuhan yang menjadi korban disana, bukan hanya saudara sepupu kita. Yang lebih lucu lagi ketika saya bertemu dengan orang yang bersikap punya ‘kemampuan lebih’ yang menterjemahkahkan nama Bapak Presiden kita Susilo dalam bahasa mandarin berarti mengumpulkan mayat, lalu dia bilang semua bencana ini karena Presiden kita yang membawa bencana! Nach Lho……!!!
Sesungguhnya, ketika terjadi bencana maka yang menjadi korban adalah orang-orang yang baik maupun orang-orang yang jahat. Sama halnya Tuhan memberikan sinar matahari bagi orang yang baik maupun orang yang jahat; bagi orang yang beribadah kepadaNya maupun yang tidak. Alangkah bijaknya jika kita bisa menyikapi segala bencana ini sebagai pelajaran agar kita bisa belajar mengantisipasi bencana mendatang dengan lebih baik. Seperti ungkapan di wall facebook tadi, belajarlah kepada bangsa Jepang, karena kondisi alam disana yang tanahnya memang labil hingga gempa di Jepang sudah menjadi hal yang biasa. Hebatnya lagi, Bangsa Jepang belajar dari pengalamannya hingga gedung-gedung tinggi disana tetap aman meskipun ada gempa yang besar. Mencari kambing hitam tidak menyelesaikan masalah justru akan memecah belah, mengkotak-kotakan berbagai kelompok serta menimbulkan kebencian. Akibatnya kita tidak lagi sibuk memperbaiki diri atau menolong para korban namun justru sibuk bertengkar, yang satu mencari kesalahan sementara pihak yang lain sibuk membela diri. Energi kita habis untuk hal yang sia-sia.
Pernahkah kita menyadari, justru dalam bencana maka kita biasa sibuk berbagi tanpa memandang kelompok lagi? Ketika terjadi gempa di Jogja, meskipun kebanyakan saudara sepupu kita yang menjadi korban namun teman-teman dari gereja setiap hari datang membagikan nasi bungkus bagi para korban di pengungsian. Ketika bencana sudah mereda, ada teman-teman di Jogja yang mengumpulkan dana dua setengah juta rupiah untuk membangun sebuah rumah sederhana bagi para korban. Kepada setiap orang yang tergerak ditawarkan ingin membantu berapa rumah. Luar biasa bukan? Kebersamaan dan sifat tolong-menolong kita muncul saat ada bencana.
Demikian pula saat terjadi bencana Gunung Merapi yang meletus baru-baru ini, semua orang saling peduli dan berbagi. Sesuatu yang jarang dilakukan saat keadaan berjalan baik dan normal. Dalam keadaan seburuk apapun, jika kita mau belajar senantiasa ada hal baik atau hikmah yang tersimpan di dalamnya. Demikian pula dalam kehidupan keluarga, yang sering membuat hubungan suami-istri atau orangtua –anak renggang adalah kebiasaan menyalahkan dan mencari kambing hitam juga. Jika ada salah seorang anggota keluarga yang mengambil keputusan yang salah hingga mengakibatkan kerugian maka yang sering kita lakukan adalah menyalahkan. Jarang sekali kita bersikap bahwa kesalahan salah seorang anggota keluarga berarti resikonya harus ditanggung serta diselesaikan bersama sebagai satu kesatuan keluarga. Sesungguhnya, ketika seseorang berbuat salah, tanpa harus disalahkan diapun sudah menyadari kesalahannya. Jika kita menyalahkan maka kita mengambil posisi bahwa kita berada di pihak yang berseberangan, bukan lagi berada pada satu sisi yang sama. Alangkah bijaknya jika kita tanpa menyalahkan, berada pada sisi pasangan atau anak kita lalu menawarkan solusi dengan sikap bahwa akibat kesalahan ini menjadi resiko seluruh keluarga. Maka kita semua akan bersatu-padu dengan segenap daya-upaya menggunakan energi kita untuk menyelesaikan masalah ini dengan cara yang terbaik. Masalah akan diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih baik, dan yang terpenting hubungan kita sebagai keluarga tetap baik bahkan menjadi makin kuat karena kebersamaan yang terjalin saat menghadapi krisis. Saat-saat berat menjadi sarana yang terbaik untuk membuktikan kasih, dukungan dan penerimaan tanpa syarat bagi pasangan dan anak kita. Pasangan atau anak yang diperlakukan demikian, maka dia akan merasa aman hingga apapun yang terjadi di masa yang akan datang, dia akan selalu merasa aman untuk terbuka dengan pasangan atau orangtuanya.
Hal lain yang bisa kita pelajari melalui bencana Gunung Merapi yang meletus adalah keteladanan kesetiaan Mbah Marijan dalam mengemban tugas serta perintah yang diamanatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepadanya. Meskipun Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah wafat namun Mbah Marijan tetap memegang teguh amanahnya. Mbah Marijan pernah berujar, jika dia harus mati karena Merapi maka itu adalah takdir Tuhan. Hingga akhir hayatnya, beliau tetap setia menjaga Gunung Merapi dan gugur dalam keadaan sedang sujud berdoa. Hal ini membuat saya merenung, seberapa besar kesetiaan kita dalam menggenapi Amanat Agung Tuhan Yesus? Yang memberikan amanat kepada kita bukan sekedar seorang raja namun Raja di atas segala raja. Apakah kita juga cukup setia memperjuangkan Amanat Agung hingga akhir hayat kita seperti Mbah Marijan? Mari kita sendiri yang bisa merenung dan menjawabnya!
AMANAT AGUNG TUHAN YESUS:
“Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.
Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Matius 28:19-20