HIKMAT VS KEBODOHAN MANUSIA
.
Albert Einstein pernah mengatakan, “Hanya ada dua hal yang kekal. Alam semesta adalah yang pertama. Yang kedua itu kebodohan manusia, dan saya tidak begitu yakin tentang yang pertama.” Sayangnya, memang seringkali kebodohan yang kita lakukan seakan tidak mengenal batas—demikian juga kerusakan yang dihasilkan oleh kebodohan kita dan keputusan-keputusan yang mendorong kita bertindak bodoh.
.
Seorang pemuda menulis e-mail bahwa semakin lama berhubungan dengan kekasihnya, dia merasa semakin ragu-ragu karena dalam beberapa hal kekasihnya telah ketahuan berbohong. Apa yang harus saya lakukan? Demikian dia bertanya. Saya mengatakan, bahwa sesungguhnya dia sudah tahu jawabannya. Tuhan sudah menunjukkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan kekasihnya dan dia juga menyadarinya, karena itu hatinya tidak mantap dan merasa galau. Akhirnya pemuda itu mengakui namun dia memilih untuk mempertahankan hubungannya karena dulu dia pernah ditinggal oleh kekasihnya dan itu terlalu menyakitkan. Dia tidak berani mengambil resiko lagi. “Biarlah saya pertahankan hubungan saya. Siapa tahu kekasih saya berubah setelah menikah nanti.” Harapan yang bak fatamorgana. Karena sesungguhnya, “What you see is what you get.” – Apa yang kita lihat sekarang, itulah yang akan kita dapatkan pula setelah menikah nanti.
.
Tidak sedikit pula, orang yang menikah tanpa menyadari bahwa setelah menikah, seyogyanya semua keputusan yang diambil bukan lagi tentang ‘aku’ apalagi setelah memiliki anak, melainkan tentang ‘kita’. Seorang teman yang merasa tidak puas dengan pernikahannya, mulai membandingkan suaminya dengan pria yang lain. Lalu ketidakpuasan itu semakin besar, ditambah dengan pergaulannya dengan teman-teman yang tidak mengenal Tuhan dan akhirnya dia memilih pergi dengan pria lain. Suami dan anak-anaknya terluka.
.
Semestinya proses pemilihan dilakukan sebelum menikah. Pastikan kita menikahi orang yang benar dengan karakter yang sesuai dengan harapan kita. Karena kita akan menghabiskan seluruh sisa hidup kita dengannya. Ketika kita menemukan hal-hal yang tidak sesuai, pertimbangkan dulu, siapkah kita menerima resikonya? Apakah ini termasuk hal yang mendasar?
Setelah menikah hendaknya kita menutup mata terhadap segala kekurangannya dan mengambil posisi sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan sebaik mungkin. Bukan lagi tentang ‘aku’ atau ‘kamu’ melainkan tentang kita. Pernikahan dirancang untuk sekali seumur hidup dan anak adalah tanggung jawab yang dipercayakan Tuhan dalam hidup kita. Tuhan ingin melalui hidup kita, anak-anak kita bisa merasakan kasih Allah dan memperoleh gambaran Allah yang sempurna melalui kita. Sungguh suatu tanggung jawab yang besar dan berat. Perlu perjuangan dan kerja keras untuk merealisasikannya.
.
Tentunya baik suami mau pun istri, harus mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Kita memiliki tanggung jawab yang jelas untuk menyediakan rumah yang nyaman, damai dan dipenuhi kasih untuk keluarga kita. Di samping itu tujuan besarnya adalah mempersiapkan masa depan yang baik untuk anak-anak kita dan generasi selanjutnya sedemikian rupa agar nama Tuhan dipermuliakan melalui hidup kita.
Saat seseorang menikah, berarti dia harus mempersiapkan diri untuk ‘berkorban’ demi kepentingan dan tujuan yang lebih besar. Bukan lagi menuntut ‘kebahagiaanku’ melainkan bagaimana kita meramu ‘kebahagiaan kita’.
.
Banyak pernikahan selebriti yang berakhir dengan perceraian lalu mereka bersepakat sedemikian rupa agar anak-anaknya tetap baik dan punya waktu bersama dengan ayah atau ibunya. Namun dari hasil riset, sebaik apa pun sebuah perceraian, selalu menyisakan luka dan trauma di hati anak-anak. Dan yang lebih buruk lagi adalah keteladanan yang hilang. Saat anak-anak dewasa kelak, dan pernikahannya mengalami krisis, dia cenderung mengikuti tindakan orangtuanya untuk menyerah dan memilih bercerai. Dia berpikir, jika dulu saya ‘survive’, mampu bertahan meski orangtua saya bercerai maka anak saya juga akan mampu survive. Bagaikan lingkaran yang mempengaruhi generasi demi generasi. Kerusakan demi kerusakan terjadi karena adanya keputusan yang salah.
.
Tuhan telah merancangkan segala sesuatu yang terbaik bagi hidup kita. Tidak ada kebahagiaan yang bisa dicapai diluar rumusan yang Tuhan berikan. Jika kita ingin hidup bahagia maka kita harus menimba hikmat dari firmanNya. Disitulah terletak harta karun dan segala rahasia bagi kebahagiaan serta kesuksesan manusia. Seperti apa kata Einstein, kecenderungan manusia adalah bersikap bodoh. Tanpa bergantung kepadaNya, kita cenderung mengambil keputusan-keputusan yang bodoh.
.
Hidup hanya sekali. Alangkah baiknya jika kita menuliskan hal-hal baik, keteladanan dan memberikan warisan abadi berupa nilai-nilai, iman, kasih dan keteladanan kehidupan baik yang mempengaruhi generasi mendatang. Kematian sesuatu yang pasti, tinggal menunggu giliran masing-masing. Renungkan, nilai-nilai dan keteladanan apa yang ingin dikenang saat kita pulang ke rumah Bapa nanti. Sungguh sesuatu yang indah dan membanggakan jika kita pulang dalam keadaan ‘kosong’, karena kita telah memanfaatkan semua talenta dan kemampuan kita untuk menjadi berkat bagi sesama. Dan kita berjalan dengan kepala tegak karena kita dengan yakin telah menjadi teladan kasih karena kita telah melaksanakan tugas dan tanggungjawab sebagai orangtua, pasangan dan anggota masyarakat yang berkenan serta mempermuliakan nama Tuhan.
Mari kita berjuang sekuat tenaga untuk mencapai garis akhir yang sukses!
.
OLEH: YennyIndra
.
Bibliografi:
Tentang Albert Einstein: Our Daily bread 09/26/2013 — Bill Crowder
Photo: http://blog.driversselect.com/2013/07/what-makes-decisions-smart-vs-stupid/
chaoticsoulzzz.wordpress.com – 656 × 441 – Search by image
www.largerfamilylife.com – 433 × 277 – Search by image
www.shtfplan.com – 350 × 235 – Search by image